Selasa, 01 Februari 2011

Kehebatan Transportasi Di Negara Yatim Piatu

TRANSPORTASI publik di negeri ini telah menjadi monster yang siap merenggut nyawa. Kecelakaan maut terjadi di darat, laut, dan udara, tanpa bisa dicegah entah sampai kapan.

Terbakarnya KMP Teduh saat berlayar dari Pelabuhan Merak menuju Bakauheni serta tabrakan kereta api (KA) Mutiara Selatan dengan KA Kutojaya Selatan, kemarin, menambah panjang daftar betapa transportasi publik telah menjadi pembunuh di negeri ini.

Tak terbilang sudah kita mempersoalkan buruknya transportasi publik. Buruk dalam jumlah, buruk dalam pelayanan, bahkan sangat buruk dalam hal keselamatan. Namun, penyelenggara pelayanan publik tidak pernah memperbaikinya. Bahkan untuk sekedar mendengarkan saja mereka seolah2 bosan.

Publik seolah dipaksa menerima takdir bahwa menggunakan transportasi publik yang mana pun di negeri ini harus siap menunggu maut menjemput. Naik transportasi publik berarti naik kendaraan menuju ajal.

Moda transportasi publik sudah menjelma menjadi pembunuh bengis. Tidak mengherankan jika Bank Dunia masih menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kecelakaan tertinggi di Asia.

Kita tidak bisa serta-merta sekadar menyalahkan operator transportasi atas kecelakaan yang terjadi. Kita mesti adil melihat, apakah negara sebagai pelindung segenap warga masih peduli terhadap nyawa rakyatnya? Tidakkah rakyat dibiarkan hidup bagaikan yatim piatu?

Di sektor transportasi laut, hampir semua kapal roro (roll on-roll off) berusia tua. Angkutan mudik Lebaran tahun lalu, misalnya, dari 33 kapal roro yang disediakan PT ASDP (Angkutan Sungai dan Penyeberangan), kebanyakan berusia sekitar 30 tahun. Bahkan, terdapat kapal roro keluaran 1971, yang berarti sekarang berusia 40 tahun.

Kondisi perkeretaapian kita tidak jauh berbeda. Lebih dari 60% lokomotif kereta api berusia 30-an tahun.

Mengapa tidak dilakukan peremajaan? Jawaban paling gampang tidak tersedia cukup dana untuk itu. Tetapi ajaib, dana untuk menaikkan gaji Presiden dan 8.000 pejabat tiba tiba ada.

Panjang rel kereta api juga terus menyusut, mencapai 41% dalam kurun 61 tahun. Jika pada 1939 panjang rel yang dibangun Belanda 6.811 kilometer, pada 2000 hanya tersisa 4.030 km.

Fakta itu menunjukkan bahwa Belanda lebih memperhatikan kereta api untuk jajahannya daripada pemerintah Republik Indonesia untuk rakyatnya.

Masih ada bukti lain perihal jeleknya komitmen pemerintah. Untuk memelihara jalur saja, PT Kereta Api memerlukan Rp1 triliun. Belum lagi biaya perawatan sarana-sarana lainnya yang hampir mencapai Rp2 triliun. Tahun lalu, PT Kereta Api mengajukan biaya layanan publik (PSO) Rp700 miliar, tapi dikabulkan Rp535 miliar.

Kereta api mestinya menjadi transportasi yang murah, aman, dan nyaman. Tapi pemerintah, bahkan negara, memang tidak memiliki kemauan kuat untuk itu. DPR lebih memilih menyenangkan dirinya sendiri dengan membangun gedung DPR yang mewah daripada memperbaiki kereta api agar menjadi transportasi yang aman bagi rakyat.

Selama negara tidak peduli dengan transportasi publik, sampai kapan pun ia akan menjadi monster ganas yang siap merenggut nyawa. Jangan berharap kenyamanan dan keamanan akan datang. Kalau sudah begitu, silakan rakyat mengurus diri sendiri. Anggaplah hidup di negeri yatim piatu, tanpa pemerintah, tanpa negara.

0 komentar:

Posting Komentar

chat and comment

My Great Web page
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Walgreens Printable Coupons