Bagi warga kota, transportasi massal seperti kereta kerap menjadi senjata sejuta umat untuk bertempur melawan jarak yang ramah kondisi kantong. Apalagi saat si Komo lewat, menempuh jalanan dengan transportasi massal terkadang lebih menghibur dibandingkan dengan menyetir kendaraan pribadi yang bisa sangat melelahkan tubuh dan pikiran. Seorang rekan pernah bilang, “Naik kereta lalu melihat jalanan macet, rasanya seperti kemenangan kaum proletarian atas kaum kaya.”
Tetapi Randy Kennedy, wartawan New York Times yang selama tiga tahun menelisik seluk-beluk dunia subway di New York, justru melihat kereta bukan sekadar jembatan pergi-pulang. Baginya, kereta telah menjelma menjadi ruang publik yang mempertemukan dan mendekatkan masyarakat dari berbagai latar. Bahkan dekat secara harafiah.
“Kereta membuat kita duduk bersama. Juga berdiri bersama,” ungkapnya lugas. “Setiap hari, pengguna kereta menemukan dirinya berjarak satu inci dari orang-orang yang untuk tinggal di kompleks yang sama pun mereka enggan.”
Walaupun objek penelitiannya berada di belahan bumi lain, saya merasa pernyataannya sangat relevan bagi kota Jakarta dan kota-kota satelit di sekitarnya. Bukankah waktu dan kesibukan kita tidak mengizinkan menikmati waktu di taman? Seandainya ketersediaan waktu pun tak jadi soal, bukankah ruang publik di kota yang seadanya membuat kita lebih memilih jalan-jalan di mal atau berdiam saja di rumah?
Bisa jadi kemudian, bagi warga kereta, pengalaman menuju ke satu tempat dengan kereta menjadi satu dari sedikit kesempatan untuk bersinggungan dengan orang lain. Jika meminjam kata-kata Avianti Armand, penulis buku “Negeri Para Peri”, di sebuah tulisannya di majalah, “Berhimpitan dengan itu semua: wajah-wajah yang nyata. Wajah-wajah dengan bau keringat dari perjuangan mempertahankan hidup, atau sejengkal tempat untuk hidup.”
“Wajah-wajah lelah namun penuh harap orang-orang yang pulang kerja selepas senja. Dengan mata yang percaya bahwa besok bisa lebih baik”. Ya, kita bercermin melalui orang lain.
Sebuah teori mengatakan, seseorang menjaga jarak kontak terhadap orang lain sekitar 30-120 cm. Di kereta, teori itu tak berlaku. Para pengguna kereta berada di jarak intim, seperti suami-istri atau bahkan lawan bergulat. Mereka saling merasakan pandangan, bau, suhu tubuh, suara, nafas, bahkan sentuhan satu sama lain.
Dan di dalam kedekatan pengalaman tersebut, para pengguna kereta sebenarnya menyaksikan ruang publik yang sangat kompleks, yang juga sangat kaya. Kereta adalah panggung konser untuk band-band bermodalkan alat musik lengkap hingga para solois bermodalkan tape bersuara kresek, yang bisa dinikmati gratis bagi orang-orang yang tidak ingin memberi.
Kereta adalah pasar untuk penjual buah, makanan, minuman, obat tikus, lem korea, pupuk tanaman, sarung telepon seluler, hingga tongkat pijat. Kereta adalah kamar tidur untuk para pekerja yang telah bekerja seharian. Kereta adalah toko buku-buku anak dan buku-buku religius, di samping juga ruang baca bagi mahasiswa rajin yang sekadar mengisi waktu luang — serta mahasiwa malas yang belum tuntas belajar.
Dan kereta juga menjadi tempat sampah bagi orang-orang yang tidak peduli kebersihan, sekaligus sumber rezeki bagi para pemulung.
Dunia kecil itu memang lebih dekat cacat daripada sempurna. Warga kereta pun lebih banyak mengeluh daripada memuji. Telat, lambat, pengap, panas, kotor, padat, sumpek, sempit adalah perbendaharaan kata sehari-hari warga kereta. Tetapi di balik itu semua, kereta adalah ruang publik yang masih ada di kota kita, yang darinya kita dapat bersinggungan dengan sesama. Juga belajar dari sesama.
“Dalam kereta. Hujan menebal jendela”, tutur Chairil Anwar dalam puisinya “Dalam Kereta”. Bait indah itu, saya percaya, bukan hanya lahir dari kepekaannya, tetapi juga dari pengalaman kaya ketika menaiki kereta.
from:http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/kota-kita-dan-kereta.html
0 komentar:
Posting Komentar